Selasa, 01 April 2014

Terima Kasih untuk Pak Tua Tukang Tambal Ban

Waktu menjelang malam sehabis menghabiskan waktu berjajakan dikota berhati nyaman. Star dari bunderan ugm ngebut dengan dua motor mengondol anak kadis orang, yang tidak lain adalah ponakan ku sendiri, yang berkunjung ke Jogjakarta.
Berdurasi cukup lama dan membosankan yang karena laju motor merampat seperti menunggu antrian sumbangan dari seorang dermawan, padahal jalanan waktu Yogya setempat kalau pas malam minggu kudu punya perhitungan dari awal, mau kemana, dan lewat jalan apa. Karena jika tidak, maka nikmatilah kebosanan anda bermalam minggu mengelilingi jalanan pusat kota Yogya. Lebih jelasnya folume kendaran roda empat sampai roda dua dari yang pribadi sampai rumahan dan bahkan mungkin dari bagasi retalan keluar bersamaan. Bisa dibanyagkan bukan, gimana kota yogya dimalam minggu, tidak jauh speerti di Jakarta dan bandung.
Larut malam sekitar pukul 01:00 pagi sehabis bercengkrama di perempatakn titik nol kilometer, saya mengajak para keponakan untuk mensudahi karena mengingat besok juga mau jalan-jalan lagi. Dengan kesempakatan yang lumayan beribet karena ada yang betah nongkrong dan yang lainnya lagi ada yang sudah ngantuk dan sebagian lagi ada yang mau pulang ke rumah (klaten). Ahirnya ku putuskan untuk pulang,-
tambal ban jogjakarta
Entah dosa atau do’a siapa yang buat motor ku tidak bersahabat pada malam tersebut, dengan bocornya ban belakang, menandakan bakalan olahraga malam dadakan, karena untuk ukuran waktu yang kurang lebih jam 01.30an susah untuk mencari tukang tambal ban. Wal hasil ku beranikan untuk tidak merasakan ketika duduk di jok motor dengan sedikit goyangan bersama ketidaknyamanan.
Alhamdulillah, waktu dijalan sebelum POM Bensin Taman Siswa ada kawan senasib yang bocor bannya, dia memberikan tanda lampung, dengan isyarat bahwa di sebalah kanan jalan ada tukang tambal ban. Semringan bukan kepalang, karena tidak dorong motot dari BNI Malioboro sampai Gondo Kusuma.
Karena bergantian tambal bannya dengan motor kawan menunggu dengan memerlukan waktu kurang lebih 10 menitan. Kata bapaknya tukang tambak. tak begitu memperhatikan bapak tukang tambal ban tersebut, aku langsung menyruh pada keponakan untuk duluan menuju kontraan saudara ku yang juga kuliah di jogja (UTY) untuk menginap disana. Dan akupun sendirian, dengan hanya berteman sebatang rokok di tangan dan juga sama bapak tukang tambal ban.
tambal ban jogjakarta
Iseng bertanya, berapa jumlah kebocoran diban kepada bapak tukang tambal ban, beliau tidak menjawab dan apalagi menolehkan wajahnya, hanya menundukan kepada seperti mengisaratkan kalau dirinya lagi fokus dalam bekerja. Aku bertanya kembali. Kalau seumpama bodornya lebih dari satu, diganti saja pak, karena sudah larut malam, untuk mecongkel ban keluar dari peleknya saja terlalu susah, karena keadaan lampungnya pun tidak terang, alias remang-remang. Bukan kasih, tapi lebih kepada meringankan beban.
Bapak tua tukang tambal pun memberikan raut muka yang kelelan kearah ku dengan tangan telunjuknya di menudingkan keban tumpukan ban bekas, aku belum menanyakan kembali kepadanya, bapak tua tukang tambal meneruskan mengeruk-ngeruk ban motor ku yang berlubang.
Tidak banyak berbicara, hanya fokus dengan pekerjaan. Larutnya suasana malam mengakrabkan kami berdua, yang dengan mulainya dingin angin malam mengayunkan pepohonan di pinggiran jalan, suara bising motor berkenalpot besar yang masih banyak berseliweran menjadi pemandangan yang cukup bisa untuk jadi bahan pembicaraan hangat di tengah menunggu permakaran ban dengan air bensol. Tapi tetap saja, bapak itu hanya menunduk, sambil menyulutkan rokok 76nya, menyudutkan kepada ke tempok dan merebahkan punggung yang sudah lumayan kurang tegak lagi, bapak tua tukan tambal ban tersebut menawarkan rokok, aku menolaknya. Lantara aku barusan habis. Tapi sama bapak tersebut malah di sulutkan dan diberikan kepada ku. Tak sepatak kata pun terucap dalam getir bibirnya yang mungkin karena suasana dingin malam.
tambal ban jogjakarta
Hampir selesai, tinggal memasang kembali dengan memasukan ban dalam ketempat asal. Aku menyiapakan uang satu lembar yang terselib di saku jelana depan. Setelah selesai, karena wajahku melihat kearah yang berlawanan dari bapak tua tambal ban yang sudah selsai merampungkan pekerjaannya, beliau menyentuh bahuku dan menunjuk dengan tangan kanannya ke arah ban belakang motor ku, bertanda kalau pekerjaan sudah selesai.
Karena dari tadi aku bertanya tidak pernah dijawab, langsung saja ku hantarkan uang yang hanya satu lembar 50 ribuan. Bapaknya berbicara dengan nada suara yang serak-serak seperti orang tua yang terkena serangan batuk-batuk berkata kepada saya “ngapurane gus, mboten wonten” tanya ku kembali dengan menjawab, tidak ada kembaliannya maksudnya pak. Beliau hanya mengangguk. Aku membukan dompet ada beberapa ribuan yang ku hitung cuman 7ribu, aku lantas bilang. Habis berapa pak semuanya. Bapak itu lantas menarik uang yang ku keluarkan dari dompet kepet ku berjumlah 7 ribu. Bapak itu tidak berbicara “sampun gus”.
Karena berasa perasaan kurang enak, aku bertanya lagi, kurang mboten pak, beliau menjawab, “mboten nopo-nopo” yang mungkin bisa di artikan kalau uang yang ku bayarkan ke beliau kurang. Aku engan pergi karena merasa membayar kurang, yang biasanya kalau larut malam hagra tambal ban harganya berbeda dengan di siang hari (khas wong batak).
Sambil mengenakan helm, aku berbicara kepada bapak, untuk pergi sebentar ke supermarket untuk membeli rokok sekalian tuker uang untuk tambah kekurangan bayar ban. Saat diatas motor, tampa memanggil bapak itu menepuk pundak kiriku, dengan berbicara, “mboten nopo-nopo gus-iklas”. Sahut ku, dengan perasaan tidak enak, “nanti pak sebentar tak ke tuker uang ke supermarket selelah. Beliau menegurku kembali, seperti rada berbisik “uwes gus, mboten nopo-nopo”. Ahirnya, aku turun dari motor yang belum sempat ku nyalakan, menyalami tangan pak tua tukang tambal ban berwarna hitam mengkilap berlumuran oli rantai. Dengan menyalaminya, aku berbicara “ngauprane njeh pak, iklas niku kurangane”. Sahur beliau dengan menganggukan kepala sambil berbicara kepada saya “iklas gus”. Ahirnya ku lepaskan tangan yang licin terkena oli berwarnakan hitam mengkilat, bapak itu lalu pergi meninggalkan aku yang masih melihatnya berjalan kearah mesin kompresor tuanya.
Sampai dijalan, arah ke kebun binatang, terniang wajah lemas dan pucat bapak tua tukang tambal ban di tengah malam. Aku mengucap dalam hati, semoga rejeki mu selalu menghampiri ditengah malam yang dinggin sekalipun. Terima kasih kepada bapak tua tukang tambal ban yang tidak ku tau nama. 
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar